BENCANA PLTN FUKUSHIMA UBAH PRODUKSI ENERGI DUNIA


Sebelum 11 Maret 2011 atau pra bencana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Fukushima Daiichi, dunia mendefinisikan energi bersih sebagai energi yang tidak menghasilkan emisi CO2, sulful, dan nitrogen seperti yang terjadi pada penggunaan energi fosil. Emisi gas rumah kaca inilah yang disebut sebut sebagai pemicu pemanasan global. Definisi inilah yang menjadikan energi nuklir menjadi energi yang dianggap ramah lingkungan. Beberapa pakar energi dunia menempatkan energi nuklir sebagai energi masa depan dan memosisikannya sebagai penyelamat dari krisis energi di masa mendatang. Definisi ini juga yang digunakan sebagian negara maju dan negara yang tidak memiliki potensi energi fosil yang memadai untuk membangun PLTN secara besar-besaran.

Namun, bukan berarti bahwa semua negara di dunia sepakat dengan definisi ini. Beberapa negara mengklasifikasikan energi nuklir sebagai energi yang sangat berbahaya. Radiasi sebagai produk ikutan energi nuklir menjadi satu indikator utama yang dijadi pertimbangan bahwa energi nuklir sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Ahli kontra nuklir berpendapat, manusia tidak boleh mendekati pusat pembangkit energi nuklir dengan pertimbangan bisa mengganggu kesehatan. Dengan mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan radiasi, energi nuklir bukan hanya tidak termasuk dalam energi bersih tapi tergolong energi yang berbahaya

Contoh ekstrim atas ketidaksepakatan dunia ini dilakukan oleh Australia. Negeri Kanguru ini memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) nuklir terbesar di dunia dan merupakan eksportir uranium terbesar di dunia. Anehnya, Australia tidak memiliki satupun bangunan PLTN. Bahkan, Pemerintah Autralia tidak memiliki rencana membangun PLTN di masa depan. Alasan yang dikemukakan Australia adalah Australia memiliki sumber daya energi yang mencukupi kebutuhan jadi tidak perlu membuat PLTN yang memiliki potensi bahaya. Hingga kini Australia membakar energi fosil dengan jumlah yang sangat besar untuk menopang pembangunan negaranya.

"Selama Australia memiliki Sumber Daya Energi (SDE) non nuklir, dalam jumlah yang besar dan mencukupi kebutuhan, maka Australia tidak akan membangun PLTN". 

Saat ini teknologi nuklir sudah sangat maju dan disebut-sebut sangat aman. Duniapun terus berupaya peningkatan keselamatan penggunaan energi nuklir dan melakukan pengawasan yang ketat, utamanya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Badan Energi Atom Dunia (International Atomic Energy Agency/IAEA), dan pemerintah negara yang menguasai teknologi nuklir. Namun, dunia juga mengakui bahwa potensi kecelakaan tetap ada. Kecelakaan nuklir bisa terjadi karena faktor kesalahan pengoperasian oleh manusia (human error), kesalahan desain, dan faktor bencana.

Bencana PLTN Sebagai Momentum Perubahan Kebijakan Energi


Salah satu momentum penting dalam energi nuklir adalah tragedi yang terjadi di PLTN Fukushima Daiichi menjadi momentum pengembangan energi terbarukan, khususnya energi matahari dan energi angin. Bencana ini telah  mengakibatkan tragedi kemanusiaan dan lingkungan yang sampai saat ini masih terasa. Apa yang terjadi di Fukushima Daiichi melengkapi tragedi besar sebelumnya di PLTN Chernobyl dan PLTN Three Mile Island. Dunia tersadar bahwa energi nuklir adalah energi yang berbahaya, sehingga tidak termasuk dalam energi yang aman dan bersih.

Bencana PLTN Fukushima Daiichi membuat penolakan masyarakat dunia terhadap penggunaan energi nuklir meningkat. Penolakan ini dimotori oleh Green Peace dan lembaga-lembaga lingkungan lainnya. Masyarakat dunia juga akhirnya ikut ambil bagian dalam penolakan. Dalam jajak pendapat di beberapa negara, kepopuleran energi nuklir turun drastis. Berdasarkan survey Ipsos-Reuters tahun 2011, yang dilakukan kepada 19.000 orang di 24 negara menyebutkan 3/4 responden menilai energi nuklir akan segera ditinggalkan.
Kejadian di PLTN Fukushima Daiichi telah meningkatkan jumlah penolakan terhadap energi nuklir sebesar 26% dimana 70% responden percaya bahwa PLTN rentan terhadap kejadian tak terduga.

Jajak pendapat yang dilakukan pada bulan April 2011 di Argentina, Australia , Belgia , Brazil , Kanada , Cina , Perancis, Inggris , Jerman, Hungaria , India , Indonesia Italia , Jepang , Meksiko , Polandia , Rusia , Arab Saudi , Afrika Selatan , Korea Selatan , Spanyol, Swedia , Turki, dan Amerika Serikat menunjukkan tingkat penolakan masyarakat yang lebih besar terhadap energi nuklir.

Begitu juga Indonesia. Walaupun Indonesia pernah merencanakan pembangunan PLTN pada 1980-an, tapi sampai sekarang belum merealisasikan pembangunannya. Tragedi PLTN Fukushima telah menyakinkan pengambil keputusan di Indonesia bahwa energi nuklir bukan energi bersih dan bukan energi masa depan yang ideal. Inilah sebabnya Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2010-2050 menempatkan energi nuklir sebagai alternatif terakhir.

Bauran Energi Dunia Berubah


Dampak yang luar biasa dari bencana nuklir di Fukushima membuat negara-negara yang mempunyai reaktor nuklir merasa khawatir dengan PLTN yang mereka miliki. Negara-negara di dunia langsung melakukan tindakan antisipasi atas tragedi PLTN Fukushima Daiichi. Beberapa negara besar melakukan perubahan perencanaan energi. Reaksi yang revolusioner dilakukan oleh Jepang, Jerman, Swiss, dan Italia yang menyatakan akan menghapus energi nuklir dari bauran energi mereka secara bertahap. Jerman adalah negara yang secara suka rela menghapus energi nuklirnya. Swiss dan Italia merespon jajak pendapat resmi oleh pemerintah. Sementara Jepang, berkomitmen penuh menghapus energi nuklir.

Penggunaan energi nuklir menurun pasca-Fukushima digantikan oleh energi fosil dan energi terbarukan. Per 1 Juli 2013, ada 31 negara didunia yang mengoperasikan PLTN dengan total reaktor PLTN tercatat 427 dan kapasitas terpasang sebesar 364 GWe. Ada penguranan 17 pembangkit pada kondisi 2013 dibandingkan sebelum bencana nuklir Fukushima. Kontribusi listrik PLTN tertinggi di dunia tercatat pada 2006 dengan total kapasitas 2.660 TWh. Tahun 2012 tercatat 2.346 TWh atau turun 7% dibanding 2011 dan 12% lebih rendah dari 2006.

Beberapa negara yang ingin membangun PLTN untuk pertama kalinya menunda kebijakannya, yaitu Banglades, Belarusia, Jordania, Lithuania, Polandia, Arab Saudi, dan Vietnam. Disamping kengerian melihat dampak kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi, pertimbangan menunda pembangunan PLTN disebabkan oleh kenaikan harga Biaya konstruksi naik dari USD1.000 per kW terpasang menjadi USD7.000 per kW terpasang. Proyek PLTN US Vogle mengalami peningkatan biaya konstruksi dari USD660 juta menjadi USD9 miliar atau naik sekitar 1.300%. Tambahan biaya disumbang dari peningkatan keamanan yang merupakan konsekuensi dari tragedi PLTN Fukushima. 

Dampak peningkatan biaya juga dirasakan oleh operator PLTN utama dunia. 14 operator PLTN utama dunia mengalami penurunan pendapatan dalam 5 tahun terakhir dan kondisi utang di 13 PLTN lainnya terus naik. Harga saham Électricité de France (EDF) anjlok 85% dan Areva NP juga turun 88%. 

Perubahan kebijakan energi sebelum dan setelah bencana nuklir Fukushima berakibat pada meningkatnya kebutuhan dunia akan energi primer terutama energi fosil untuk pembangkit listrik di masa yang akan datang. Saat ini, sekitar 15% sumber energi untuk listrik dunia berasal dari PLTN (coba lihat di Tabel 1.4). Namun, penggunaan nuklir ini perlahan-lahan semakin berkurang. Karenanya penelitian dan pembangunan industri energi terbarukan akan semakin cepat berkembang. 

Program Orbiting Power Plant (OPP) yang sedang dilakukan oleh negara industri, termasuk Jepang merupakan program besar yang keberhasilannya akan menjadi momentum untuk penyelesaian permasalahan energi dunia, karena energi matahari akan ditangkap selama 24 jam perhari. Jika program OPP ini berhasil, energi matahari akan menjadi energi akhir zaman bagi kehidupan manusia, yaitu ketika semua kebutuhan energi manusia akan dipasok dari energi matahari.

Langkah Jerman

Gambar : Beberapa Aplikasi  PLTS dan PLTB di Jerman Pasca Bencana PLTN Fukushima

Kebijakan pemerintah Jerman untuk menghapus semua PLTN yang dimilikinya mengejutkan dunia. Mata negara-negara di dunia tertuju pada Jerman,  menunggu bagaimana langkah Jerman mengimplementasikan kebijakan tersebut. Banyak tantangan yang akan dihadapi oleh Jerman sebagai negara industri yang identik dengan kebutuhan energi yang tinggi. Berdasarkan data, konsumsi energi final Jerman masih didominasi oleh energi fosil berupa minyak, batubara, dan gas bumi. Energi nuklir terlihat pada urutan kedua sementara energi terbarukan di posisi kelima. Positifnya, ada tren bahwa terjadi penggunaan energi terbarukan dan penurunan peran energi nuklir walaupun tipis. 

Jerman menyatakan kebijakan mengganti energi nuklir dengan energi terbarukan didasari oleh pemahaman tentang keselamatan PLTN yang berubah, bukan karena tingkat keekonomian energi nuklir. Pada tahap awal transisi, energi angin (PLTB) akan jadi andalan, disusul oleh matahari (PLTS). PLTB dipilih karena teknologinya murah dan di jerman potensi angin tersedia sepanjang tahun.

Pada tahun 2010 atau sebelum tragedi PLTN Fukushima Daiichi, Jerman memiliki 17 PLTN dengan total kapasitas 20 GW yang memberikan kontribusi 23 % dari keseluruhan listrik. Beberapa hari setelah tragedi Fukushima, pemerintah Jerman memerintahkan penghentian operasi tujuh PLTN yang sudah tua (operasional sebelum tahun 1980) dan memutuskan PLTN tua lainnya akan dimatikan secara bertahap. PLTN tua ini tidak akan dioperasikan lagi.

Pada bulan Mei 2011, pemerintah Jerman menyatakan akan mematikan seluruh PLTN-nya pada tahun 2022 . Tahapannya, 8 PLTN akan di ditutup secara permanen, sisanya akan dimatikan secara bertahap. Tahap pertama menutup 3 PLTN pada 2015, 2017 , dan 2019. Berikutnya, 3 PLTN ditutup pada tahun 2021 dan 3 PLTN terakhir tahun 2022. Jerman mengakui penutupan semua fasilitas PLTN merupakan tantangan yang besar bagi ketahanan energi mereka, terutama dalam kaitan bauran energi nasional.

Target pemerintah Jerman :

  • Emisi gas rumah kaca harus dikurangi sebesar 40% pada tahun 2020, 55% tahun 2030, 70% pada 2040, dan 80- 95% pada tahun 2050. Referensi perbandingan emisi karbon adalah tahun 1990.
  • Konsumsi energi primer turun sebesar 20% pada tahun 2020 dan 50% tahun 2050.
  • Produktivitas energi dibandingkan konsumsi energi final naik sebesar 2,1% per tahun.
  • Konsumsi listrik turun 10% pada tahun 2020 dan 25% tahun 2050. Angka pembanding yang ditentukan adalah tahun 2008.
  • Dibandingkan dengan tahun 2008, permintaan panas untuk bangunan harus dikurangi 20% pada tahun 2020, sementara energi primer untuk bangunan turun 80% pada tahun 2050.
  • Target energi terbarukan sebesar 18% dari konsumsi energi bruto akhir tahun 2020, 30% di 2030, 45% pada 2040 dan 60% di 2050.
  • Kontribusi energi terbarukan tahun 2020 minimal 35% dari konsumsi listrik bruto, 50% di tahun 2030, 65% pada tahun 2040 dan 80% pada 2050.


Kebijakan lain adalah meningkatkan efisiensi penggunaan energi fosil. Langkah yang dilakukan adalah menghemat penggunaan energi dengan memodernisasi gedung-gedung. Sementara itu, dalam bidang transportasi, langkah yang akan dilakukan adalah menargetkan 6 juta mobil listrik di jalan-jalan Jerman pada tahun 2030. Hasilnya, peran energi terbarukan pada konsumsi energi Jerman, baik untuk listrik, pemanas, industri, maupun transportasi naik jadi 11 persen pada 2013.

Untuk mewujudkan kebijakan ini, pemerintah Jerman menganggarkan dana sekitar 26,6 miliar euro (sekitar Rp324,5 triliun), dimana 73% dari dana tersebut dialokasikan untuk pengembangan dan peningkatan efisiensi panel surya atau sel fotovoltaik. Penelitian juga dilakukan untuk modernisasi pembangkit berbahan bakar fosil yang ada sehingga mampu bekerja fleksibel, efisien, dan emisinya lebih rendah. Upaya pemerintah ini telah banyak memberikan hasil nyata, yaitu terbentuknya 74 desa mandiri energi yang 100% menggunakan energi terbarukan.

Salah satu faktor kesuksesan Jerman adalah kebijakan insentif kepada investor energi terbarukan. Kebijakan ini ditanggapi positif oleh masyarakat Jerman. Kebijakan Jerman diikuti oleh 1,3 juta rumah tangga, petani, dan usaha kecil. Peran energi matahari Jerman naik mencapai 47% dari total PLTS dunia. Suplai listrik PLTS pada 2012 tercatat 22% dari total kebutuhan Jerman. Kontribusi gabungan antara PLTS dan PLTB berhasil memproduksi 60% listrik negara. 

Langkah Jepang

Gambar : aplikasi PLTS di Jepang Pasca Bencana PLTN Fukushima Daiichi

Meskipun telah mengalami berkali-kali bencana nuklir, Jepang tidak bisa langsung menutup semua PLTN karena sumbangan dari energi nuklir kepada kebutuhan energinya masih cukup besar, yaitu 28,2 %. Langkah pertama yang ditempuh Pemerintah Jepang adalah melakukan evaluasi dan pengecekan terhadap seluruh PLTN yang mereka miliki, yaitu sebanyak 54 PLTN. Pada waktu terjadi gempa dan stunami pada 11 Maret 2011, sebenarnya ada 14 PLTN yang mengalami kerusakan dan semuanya mati secara otomatis untuk perbaikan. Satu tahun setelah terjadinya bencana Fukushima, yaitu pada Mei 2012, seluruh PLTN di Jepang dimatikan untuk diperiksa keamanannya. Langkah ini menjadikan Jepang secara defakto bebas nuklir.

Dua pembangkit listrik tenaga nuklir dinyalakan kembali pada Juni 2012 setelah dilakukan pemeriksaan. Langkah ini dilakukan Jepang karena terjadi kekurangan pasokan listrik yang parah. Posisi Jepang sebagai penghasil energi nuklir terbesar no 3 di dunia turun menjadi no 18. Kebijakan pemerintah Jepang ini mendapat protes dari pemerintah daerah dan masyarkat Jepang yang masih trauma atas meledaknya bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki serta kecelakan-kecelakaan nuklir pada pembangkit listrik. Kebanyakan rakyat Jepang berharap pembangkit listrik yang telah dimatikan untuk inspeksi tidak dihidupkan kembali.

Jepang menerima konsekuensi besar dari kebijakan mematikan PLTN tersebut karena harus menggantinya dengan impor minyak dan gas dalam jumlah besar. Pada 2011, Jepang menghabiskan 2,4 triliun yen atau sekitar Rp 268 triliun untuk menutupi kerugian dari hilangnya pasokan energi nuklir dengan mengimpor minyak dan gas. Sedangkan pada 2012, Jepang kembali kehilangan dana sebesar 3,2 triliun yen atau setara Rp 357 triliun hanya untuk membeli gas dan minyak. Dampak ekonomi yang besar inilah yang membuat pemerintah Jepang memutuskan untuk menyalakan kembali 2 reaktor nuklir.

Penggantian energi nuklir dengan fosil telah membuat tarif listrik untuk rumah tangga naik 18% dan industri naik 36%. Akibatnya, daya saing industri Jepang turun dan pasar keuangan terus mengalami pelemahan. Penghentian operasional PLTN membuat ekonomi negara itu terguncang.

Pemerintah Jepang tidak tinggal diam meskipun belum ada kesepakatan bauran energi. Pemerintah terus mendorong investasi di bidang energi terbarukan. Berbagai kebijakan insentif bagi energi terbarukan dikeluarkan, salah satunya adalah subsidi negara dalam bentuk feed-in tarif dan insentif pajak dibidang. Subsidi ini diumumkan pada 1 Juli 2012 dan berhasil membuat investasi di bidang ET melonjak. Kebijakan feed-in tarif mewajibkan perusahaan listrik di Jepang membeli produksi listrik dari energi terbarukan dengan kontrak selama 15-20 tahun dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Harga pembelian rata-rata diatas tarif listrik yang dikenakan kepada konsumen, dimana besarannya tergantung jenis energi terbarukan yang dikembangkan.

Program ini mendorong perusahaan kecil dan pelanggan listrik rumah tangga mengembangkan energi terbarukan, mulai dari bioenergi dan energi alam. Sambutan paling besar terdapat pada energi matahari dimana rumah tangga, perusahaan kecil, dan perusahaan besar melakukan investasi pemasangan solar sel secara besar-besaran. Bahkan, petani di Fukushima memasang solar sel diatas lahan pertanian mereka. Secara instan kapasitas PLTS terpasang di Jepang naik 40,7% dari 4.914 MW pada 2011 menjadi 6.914 MW pada 2012 dan berhasil meningkatkan peran Jepang menjadi 6,9% dari PLTS terpasang di dunia. Perusahaan kecil berinvestasi memproduksi energi terbarukan tempat-tempat yang potensial menghasilkan energi listrik, sementara rumah tangga memasang solar cell diatap rumah.

Selama periode Juli 2012 hingga Okbober 2013, kapasitas produksi ET naik 5,85 kw, dimana energi matahari menyumbang 90% atau 5,6 juta kw. Pakar energi menilai salah satu lonjakan investasi di bidang solar sel karena kebijakan feed-in tarrif. Harga pembelian 42 yen per kwh selama 20 tahun sangat menguntungkan dari segi investasi. Bahkan, ketika 2013 lalu Jepang menurunkan feed-in tariff menjadi 37,8 yen per kwh tetap dianggap masih memberikan keuntungan yang cukup tinggi. 

ahmad senoadi
Sumber :
  • Profesor Rinaldy Dalini.
  • http://www.thesuperfins.com/toxic-water-aquatic-fallout-future-in-the-aftermath-of-the-fukushima-daiichi-nuclear-disaster/, diakses 2016.
  • http://energytransition.de/2013/10/an-end-to-feed-in-tariffs/, diakses 2016.
  • http://www.offshorewind.biz/2014/04/03/germany-backs-down-from-severe-energy-support-cuts/, diakses 2016.
  • http://www.wmnf.org/news_stories/big-power-companies-putting-smaller-solar-companies-out-of-business-and-media-monopolies-blocking-fair-debate-in-us, diakses 2016.
  • http://humansarefree.com/2013/11/post-fukushima-japan-starts-transition.html, diakses 2016.
  • http://ecogeek.org/solar-power/3694-japanese-solar-panel-owners-sold-12-billion-worth-, diakses 2016.
  • http://www.sustainablebusiness.com/index.cfm/go/news.display/id/25496, diakses 2016.
  • http://www.japantimes.co.jp/news/2014/02/10/reference/renewable-energys-future-rosy-if-grids-ever-get-updated/#.U1y3f1VR2Al, diakses 2016.

SHARE

akostader

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar