Jakarta (16/10/2012)- Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan salah satu pilihan dalam rangka memenuhi kebutuhan energi nasional yang terus meningkat. Sedangkan pilihan yang lain, yakni pemanfaatan energi baru terbarukan, seperti tenaga panas bumi, tenaga angin, tenaga surya, tenaga air, biomassa dan hydrokinetic energy (pemanfaatan air laut untuk energi), yang sampai saat ini belum dioptimalkan.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi yang terus meningkat, khususnya untuk keperluan sektor industri, usaha, kebutuhan listrik perkotaan dan pengembangan wilayah seiring dengan pertumbuhan ekonomi, maka pembangunan PLTN di Indonesia perlu dipertimbangkan menjadi pilihan. Untuk itu, pembangunan PLTN guna memenuhi kebutuhan industri harus dipersiapkan dari sekarang. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik sebagai komplementer, dapat dikembangkan pembangkit listrik tenaga dari energi baru terbarukan, seperti panas bumi, air dan matahari.
Permasalahan pembangunan PLTN masih menjadi perdebatan oleh para ahli. Wacana tersebut telah berubah tidak hanya menjadi masalah energi, tapi juga masalah sosial. Sementara, pemerintah belum menentukan sikap berkaitan dengan kebijakan pasokan energi listrik dari PLTN.
Potensi Energi Nasional
Anggota Dewan Energi Nasional yang juga merupakan Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Ir. Rinaldy Dalimi, M.Sc. Ph.D berpendapat pihaknya tidak menentang atau berantipati dengan PLTN, namun beberapa faktor yang perlu menjadi pertimbangan dalam membangun PLTN di Indonesia antara lain potensi energi Indonesia, kondisi geografis Indonesia, keekonomian PLTN, penguasaan teknologi, kebijakan energi nasional, keamanan masyarakat/negara dan lingkungan strategis.
Potensi energi nasional yang melimpah ruah memang tidak diragukan, terutama energi terbarukan yang sangat bervariatif. Namun, sejauh ini belum dimanfaatkan secara optimal. Besaran energi terbarukan di Indonesia dipetakan sebagai berikut : (a). Tenaga air diperkirakan: 75,67 Giga Watt (GW); (b). Panas bumi: 28,00 GW; (c). Biomassa: 49,81 GW; (d). Energi laut (Hydrokinetic Energy): 240,00GW dan (e). Matahari (6-8 jam/hari): 1200,00 GW. Disisi lain juga terdapat potensi energi fosil, seperti batubara (104 Miliar Ton) dan gas bumi (384,7 TSCF) yang cenderung produksinya saat ini diekspor sebagai sumber pendapatan negara. Disamping itu, Indonesia juga dikenal sebagai penghasil minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) terbesar di dunia, dimana CPO dapat dijadikan sebagai Biofuel.
Besarnya potensi sumber daya energi baru yang berasal dari energi laut, biomassa dan surya sangat prospektif dan menjanjikan. Tetapi yang terjadi sebaliknya, krisis energi listrik semakin menghantui Indonesia. Krisis energi listrik yang terjadi bukan disebabkan Indonesia tidak mempunyai sumber daya energi primer, namun lebih disebabkan karena belum melakukan tata kelola energi yang tepat, baik dan benar untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut.
Apabila PLTN menjadi pilihan di tengah ancaman krisis energi, maka pemerintah perlu memperhatikan studi keekonomian energi listrik yang dihasilkan oleh PLTN. Studi keekonomian PLTN yang pernah dilakukan oleh Keystone Center 2007 di Amerika menunjukan bahwa biaya konstruksi pembangunan PLTN bervariasi antara US$ 3600-4000/KW dengan harga listrik antara US$ 8-11 cents/KWH. Sementara, studi yang dilakukan oleh Standard & Poor's and Moody's, mendeskripsikan biaya konstruksi PLTN sebesar US$ 5000-6000/KW. Sedangkan berdasarkan beberapa kontrak PLTN di Amerika dengan menggunakan type Advanced Passive - AP 1000 diperlukan investasi sebesar US$ 5000/KW. Apabila biaya decommissioning dan biaya pengolahan limbah uranium dimasukan sebagai biaya investasi, maka harga listrik PLTN pada tahun 2008 adalah sebesar US$ 7000/KW, dan harga energi listriknya sebesar U$ 8-11cents/KWH. Sedangkan harga pada 2020 diperkirakan akan meningkat dua kali lipatnya (Moody’s Corporate Finance).
Sebagaimana diketahui, Indonesia telah memiliki Pusat Reaktor Atom pertama di Bandung, yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 1965. Dengan fasilitas Reaktor Penelitian tersebut, maka berdasarkan UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dapat menyelenggarakan penelitian dan pengembangan produksi bahan baku untuk pembuatan dan produksi bahan bakar nuklir. BATAN sudah mampu melakukan rekayasa isotop dan hasilnya telah diekspor ke berbagai negara untuk keperluan industri peralatan pencuci darah, pengembangan padi varietas unggul, dan lain-lain. Saat ini Indonesia belum memproduksi uranium dan belum mendapat ijin untuk melakukan pengayaan uranium sebagai bahan bakar nuklir.
Kebijakan Energi Nasional 2010-2050 yang dikeluarkan Kementerian ESDM maupun Rencana Umum Pembangunan Tenaga Listrik sampai 2025 belum menyebutkan adanya rencana pembangunan PLTN. Dalam UU No. 10 Tahun 1997, BATAN ditugaskan untuk menguasai teknologi produksi uranium sebagai bahan baku untuk bahan bakar nuklir. Namun ironisnya apabila PLTN dibangun di Indonesia, maka uranium tersebut harus diimpor. Hal ini menambah ketergantungan Indonesia dengan negara lain.
Pembangunan PLTN di Indonesia harus memperhatikan kondisi geografis Indonesia yang beresiko tinggi, karena terletak di daerah gempa dan pada “Ring of Fire”. Disamping itu, instalasi PLTN juga menjadi titik terlemah dari serangan musuh dan kegiatan sabotase. Dalam konteks keamanan negara, instalasi PLTN perlu diinformasikan dengan rinci dan apa adanya tentang resiko apabila terjadi bencana nuklir (penguasaan teknologi, ketergantungan dengan negara lain, bahaya radiasi yang dapat meresahkan masyarakat, boikot negara lain, kondisi daerah bencana, SDM yang stabil secara emosional dan variabel lainnya).
Setelah bencana Fukushima terjadi beberapa bulan lalu, dunia mengeluarkan dana penelitian yang besar untuk mempercepat pembangunan energi baru terbarukan, karena dunia meyakini bahwa energi tersebut merupakan energi masa depan yang tidak beresiko terhadap kehidupan. Diprediksi pada tahun 2030 harga energi baru terbarukan sudah akan lebih murah dari harga energi fosil dan nuklir, sehingga dunia akan beralih secara bertahap dari energi fosil ke energi baru terbarukan. Indonesia mempunyai potensi energi fosil yang cukup untuk menunggu keekonomian energi baru terbarukan tersebut, sehingga tidak perlu membangun PLTN.
Pembangunan PLTN merupakan pilihan, karena Indonesia mempunyai sumber energi lain yang lebih murah dan tidak beresiko tinggi dengan memanfaatkan sumber energi yang tersedia secara optimal. Dengan demikian, PLTN bukan menjadi pilihan utama dalam memenuhi kebutuhan energi Indonesia.
Pandangan serta pendapat yang menyarankan PLTN bukan dijadikan sebagai pilihan utama, bukan semata-mata menyiratkan penolakan pembangunan PLTN. Namun, dalam hal ini yang perlu menjadi penekanan bagaimana pemerintah dan masyarakat perlu mendapatkan informasi yang benar sebagai bahan pertimbangan secara komprehensif untuk pengambilan keputusan tentang pembangunan PLTN.
PLTN Untuk Dukung Stabilitas Pasokan Listrik
Dalam pandangan Kepala BATAN, Prof. Dr. Djarot Sulistio Wisnubroto, manfaat yang dihasilkan dari penggunaan nuklir lewat pembangunan PLTN antara lain untuk mendukung stabilitas pasokan energi listrik, mengurangi laju pengurasan energi fosil yang cadangannya sangat terbatas, dan mendukung pengurangan dampak akibat pemanasan global.
Energi listrik dari reaktor nuklir merupakan bagian dari sistem bauran energi yang optimal (optimum energy mix) simbiotik - sinergistik dengan energi fosil dan terbarukan lainnya dalam memenuhi kebutuhan energi nasional.
Pada masa lalu penguasaan teknologi nuklir merupakan hal yang sensitif karena berkaitan erat dengan “senjata nuklir”, hal tersebut disebabkan oleh isu pengkayaan uranium dan olah ulang bahan bakar uranium tersebut. Sebagai contoh, dengan memiliki kemampuan pengkayaan uranium U235 di atas 20%, berarti negara tersebut kemungkinan mampu membuat "senjata nuklir". Sedangkan kebutuhan uranium untuk PLTN hanya membutuhkan pengkayaan uranium sekitar 3 sampai dengan 4%.
Pada era 1970 – 1990-an, BATAN melakukan penelitian terhadap teknologi pengkayaan dan olah ulang uranium, baik yang dilakukan di dalam maupun luar negeri, sehingga sumber daya manusia BATAN dapat menguasai IPTEK ketenaganukliran. Namun ketidakjelasan program pembangunan PLTN ke depan dan adanya inspeksi International Atomic Energy Agency (IAEA) secara berkala yang meminta rincian program nuklir di Indonesia, menyebabkan program dan kegiatan penelitian nuklir untuk PLTN menjadi surut.
Indonesia memiliki potensi mineral radioaktif seperti uranium, yaitu di Kalan dan Kawat (Kalimantan) dengan total potensi sebesar 34.863 ton U3O8 . Disamping itu, juga terdapat di 20 daerah sumber daya spekulatif berindikasi memilki potensi yang tersebar di beberapa pulau, siap ditingkatkan menjadi sumber daya potensial. Sedangkan sumber daya potensial bahan baku nuklir berupa thorium, terdapat di daerah Bangka-Belitung dan sekitarnya, dengan total potensi di Bangka Selatan sebesar 5.487 ton. Belum lagi terdapat potensi lainnya yang berada di dasar laut.
Adanya laju pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang sebanding dengan meningkatnya kebutuhan energi, maka pemerintah Indonesia bermaksud menerapkan bauran energi secara optimum dari berbagai sumber energi, salah satunya yang memungkinkan dari PLTN.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 20 September 2011 menandatangani Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan Bali Action Plan pada Conference of Parties United Nations Climate Change Convention (COP UNFCCC) ke-13 di Bali, Desember 2007. Untuk memenuhi komitmen pemerintah Indonesia yang secara sukarela menurunkan emisi GRK 26% dengan usaha sendiri, atau mencapai 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020.
Berdasarkan Undang-Undang No 17 Tahun 2007, pada RJPN 2005-2025 dan Keputusan Presiden No.5 Tahun 2006, mentargetkan bauran energi sampai tahun 2025 dengan kontribusi nuklir 2% dari energi primer atau 4% listrik (4.000 MWe). Berdasarkan regulasi yang ada, maka diharapkan Indonesia dapat membangun 2 unit PLTN. Unit pertama direncanakan dapat beroperasi sebelum 2020 untuk memenuhi kebutuhan bauran energi nasional, sehingga secara strategis jangka pendek kebutuhan energi terpenuhi dan secara jangka panjang efektif dan efisien. Namun sampai sekarang masih terjadi pro-kontra, baik di kalangan para pakar maupun di masyarakat awam, tentang perlu tidaknya PLTN dibangun di Indonesia .
Kegiatan yang dilakukan oleh BATAN di daerah Bangka-Belitung merupakan studi kelayakan terhadap kemungkinan, bila suatu saat wilayah Bangka-Belitung dijadikan tapak PLTN. BATAN sendiri tidak memiliki wewenang membangun PLTN. Namun sebagai lembaga riset, BATAN mempunyai kewajiban melakukan penelitian pendahuluan untuk mempersiapkan bahan kebijakan pemerintah dalam memutuskan pembangunan PLTN. Dalam kegiatan studi tapak dan penelitian tersebut, BATAN menghadapi resistensi dari masyarakat di Bangka-Belitung.
Pembangunan PLTN merupakan salah satu opsi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Memang, pembangunan PLTN di Indonesia beresiko tinggi. Oleh karena itu, sebelum keputusan diambil pemerintah perlu mempertimbangkan semua aspek secara komprehensif, bukan hanya aspek teknis tetapi juga aspek sosial ekonomi keamanan masyarakat, lingkungan strategis dan potensi ancaman teroris serta sabotase.
Pembangunan PLTN sebagai salah satu opsi untuk memenuhi kebutuhan energi perlu dipertimbangkan, mengingat keperluan energi nasional terus meningkat, rencana pembangunan PLTN perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Pemerintah juga perlu mendapat masukan dan memperoleh data-data yang obyektif tentang semua aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum membangun PLTN. Sebagai persiapan membangun PLTN, pemerintah perlu menetapkan salah satu kementerian atau BUMN sebagai penanggung jawab. (*)
Sumber: http://www.bin.go.id/wawasan/detil/146/3/16/10/2012/pembangunan-pembangkit-listrik-tenaga-nuklir-di-indonesia#sthash.v3N7f84f.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar